Sabtu, 05 November 2011

CERPEN IRNA

KETEGARAN TOGAR
Di pagi hari yang cerah, sinar matahari menyemburat dengan indah seakan-akan menambah semangat juang seorang anak yatim piatu yang telah ditinggal selama 3 tahun oleh orang tuanya sejak ia masih berusia 7 tahun. Nama anak itu adalahTogar. Ia merupakan anak yang lahir dari keluarga yang sederhana. Dulu, kedua orangtuanya hanya bekerja sebagai buruh petani.Namun, Tuhan begitu cepat memanggil orangtuanya. Mereka meninggal karena sakit asma yang diderita mereka. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia diangkat oleh Bu Rusmini yang merupakan kakak kandung ibunya. Sejak itulah ia tinggal bersama Bu Rusmini dan keluarganya.
Sejakia tinggal bersama Bu Rusmini, hidupnya tetap sederhana. Sewaktu orangtuanya masih hidup, iaselalu jualan gorengan keliling kampungnya.Namun, semenjak ia diangkat oleh Bu Rusmini, ia dilarang berjualan gorengan lagi. Dengan alasan “malu”. Tetapi, ada satu hal yang membuat ia selalu teringat kepada orangtuanya. Tampaknya perlakuan Bu Rusmini terhadapnya tidak begitu baik. Yah, namanya juga anak tiri, Bu Rusmini selalu mengesampingkan kebutuhannya.Mulai dari kebutuhan sekolahnya maupun kebutuhan sehari-harinya. Hingga suatu hari, ia mendapatkan panggilan surat untuk orangtua perihal penagihan uang SPP yang telah menunggak selama 4 bulan.
Pagi hari yang cerah, di waktu istirahat.Togar dipanggil oleh Staff TU di sekolah SMPnya.
“Selamat pagi, Pak!Maaf, Bapak memanggil Togar?” tanyanya dengan senyum.
“Pagi! Eh, Togar! Silakan duduk!” jawab Pak Idris.
Togar duduk sambil menundukkan kepalanya.
“Begini, Gar, tolong sampaikan surat dari TU untuk kedua orang tua kamu, ya! Masalahnya kamu sudah nunggak membayar SPP selama 4 bulan.Semoga saja dengan surat ini, orangtua kamu bisa datang kesini dan memberikan penjelasan mengenai SPP kamu!”
Togar menerima surat itu dengan tangan dan wajah yang lemas, seakan-akan ia sudah tidak terpikirkan bagaimana caranya untuk memberitahukan hal itu kepada Bu Rusmini. Bagaimana pun juga ia punya rasa malu meskipun Bu Rusmini telah menjadi orangtuanya.
“Hmm…Baik, Pak! Nanti Togar sampaikan surat ini. Terimakasih,Pa!” ucapnya dengan ramah.

Di siang hari sewaktu pulang sekolah ia kebingungan untuk mendapatkan cara agar ia mampu mengumpulkan uang untuk SPP . Setelah beberapa menit ia berjalan, lalu ia mendapatkan ide untuk mendapatkan uang.
“Oh iya! Bang Engking! Aku yakin, pasti dia punya pekerjaan untuk Togar! Sekarang lebih baik Togardatang ke rumahnya!”Ia pun bergegas k erumah Bang Engking yang jaraknya sekitar 4 km dari sekolahnya. Bang Engking adalah bandar dagangan kaki lima. Ia membuka lapangan pekerjaan untuk orang-orang yang hendak ingin menjadi pedagang kaki lima untuk memenuhi kebutuhannya.
Setelah satu jam ia berjalan, tibalah ia di rumah Bang Engking. Tampak Bang Engking di depan rumahnya sedang menata dagangan kaki lima yang akan dijual oleh para pedagang kaki lima.
“Assalamu’alaikum Bang Engking!” sapa Togar dengan ramah.
“Eh, Waalaikumsalam, Gar! Waduuh ini anak, makin kecil aja! Ada apa, Gar? Tumben datang ke sini?”
Togar tiba-tiba tertegun, “Hmm…sebelumnya maaf, Bang!Ngomong-ngomong, ada pekerjaan tidak Bang untuk Togar? Jadi pedagang kaki lima atau jualan apa saja asal halal, Bang. Togar sekarang ingin mengumpulkan uang untuk membayar tunggakan sekolah selama 4 bulan!” ucapnya sambil menundukkan kepala.
Bang Engking menepuk pundaknya seraya berkata,”Aduh, Gar! Gimana, ya.Sekarang Abang lagi krisis keuangan. Dagangan kaki lima gak terlalu laku. Jadi susah untuk menggaji pedagangnya. Hmm…Berapa Gar tunggakannya?”
“Rp. 280.000 Bang! Ya sudah, Bang! Kalau begitu terimakasih, ya.Togar pamit dulu mau pulang!”
“Hmm, begini saja, Gar. Kamu boleh bekerja dengan Abang, tapi apa kamu sanggup jualan gorengan di depan SD 123?Kebetulan SD itu masuknya siang!”
Air muka Togar yang tadinya kusam, kini kembali segar. “Bener, Bang? Serius?Ga apa-apa, Bang.Apapun pekerjaannya asal halal.Togar sanggup, Bang!”
“Ya sudah, kalau begitu bisa kamu mulai jualan sekarang?”
“Tentu, Bang bisa!” ucapnya dengan senang.Lalu Bang Engking memberikannya sekeranjang gorengan.
“Nah ini dia gorengannya. Kebetulan nih ada pekerja yang keluar, jadi yang tadinya dijual sama Abang, Abang relakan untuk kamu. Karena Abang gak mau liat anak sahabat Abang sedih begini!”
“Terimakasih, Bang! Togar janji akan hati-hati dan nanti sore pulang dengan membawa keranjang kosong dan uang yang banyak!” ucapnya seraya tertawa bersama Bang Engking.
“Baiklah, Gar. Abang percaya sama kamu. Gyh pergi nanti keburu sore!”
“Oke, Bang Engking. Assalamu’alaikum!” Iaberpamitan untuk jualan ke SD 123 yang diperintahkan oleh Bang Engking.
Di sepanjang jalan, Togar terlihat senang sekali “Gorengan, Dek, gorengan, Bu! 500san…Ayo, Bu, ayo, De! Rasanya weeenak bangget…!”
Ia duduk di pinggir jalan depan SD 123 sembari menjajakan gorengannya. Sesekali ia menengok ke arah kelas-kelas di SD tersebut. Tampaknya para siswa belum istirahat.“TRRRREEEEEENGGG!” tiba-tiba bel tanda istirahat berbunyi.Para siswa mulai ke luar dari pagar sekolah untuk jajan.
“Ayo, Dik! Gorengannya, Dik!” serunya dengan semangat. Berulangkali ia menawarkan gorengan kepada anak-anak SD tersebut, namun tampaknya para siswa tersebut tidak begitu tertarik dengan gorengan yang dijualnya hingga tak ada satupun siswa yang menghampiri dan membeli gorengannya. Terdengar beberapa anak berbisik “Hey, pasti ini pegawainya Bang Engking.Kata Ibu saya itu gorengan kemaren yang digoreng lagi!”
Togar tertegun mendengar bisikan salah satu siswa kepada temannya itu.Ia terdiam sambil menatapi gorengannya. Tiba-tiba para siswa berlari-lari hingga ada salah satu siswa yang menendang keranjang gorengannya.“Brrraaaaak!” Semua gorengan jatuh ke dalam sungai kecil yang terletak di belakangnya. Satu persatu gorengannya tenggelam ke dalam air sungai yang berwarna hitam dan beraroma tak sedap.Iatidak bisa melakukan apa-apa lagi. Semua gorengannya sudah tidak mungkin untuk diambil. Dengan sedih hati dan rasa kecewa, iahanya mengangkat keranjangnya saja, kemudian ia pergi dari sekolah tersebut dengan tangan hampa.
Sepanjang perjalanan, ia tak kuasa menahan tangisnya. Sebelumnya ia belum pernah dengan mudah meneteskan air matanya. Tetapi karena hal tadi ia tak kuasa membendung air matanya.
“Ya, Alloh… Apa yang harus kulakukan? Sementara ini adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan uang . Apa yang harus aku katakan kepada Bang Engking?” ucapnya seraya menangis sambil berjalan. Setelah 15 menit ia berjalan, tiba-tiba ia menginjak sesuatu yang tebal. Langkahnyapun terhenti dan ia mencoba untuk melihatnya.
“Apa ini?Ya ampun, ini dompet.Dompet siapa ya?” gumamnya seraya mengambil dompetnya. Perlahan ia membuka dompet tersebut. Lalu ia kaget karena di dalam dompet tersebut terdapat uang banyak. “Ya ampun, uangnya banyak sekali!Apa yang harus kulakukan dengan dompet ini?” gumamnya. Saat itusempat tersirat sebuah pikiran untuk membawa pulang dompet itu. Tetapi di sisi lain ia merasa berat untuk membawa pulang dompet itu.
“Apa sebaiknya aku bawa pulang uang ini? Tetapi…aku gak mungkin melakukan itu…Ibu kan selalu mengajarkanku untuk jujur. Hmmm…Sebaiknya aku menyerahkan uang ini kepada Pak Polisi saja. Kebetulan di sana ada Pak Polisi yang sedang mengatur lalu lintas” gumamnya. Akhirnya ia memutuskan untuk menyerahkan dompet itu kepada Polisi.
“Selamat siang, Pak!Nama saya Togar. Ini,Pak, saya menemukan sebuah dompet di jalan sana!” ucapnya seraya menunjuk arah jalan di mana ia menemuka dompet itu.
“Iya selamat siang, Dik!Oh begitu ya, coba Bapak lihat!” jawab Pak Polisi seraya membuka dompetnya.“Dik, berdasarkan kartu identitas di dalam dompet ini, pemiliknya adalah Ibu Yuliani.Sebaiknya kita tunggu saja di jalan tempat kamu menemukan dompet ini. Semoga saja pemiliknya mencari dompet ini ke tempat itu! Jika tidak ada, Bapak akan membawa dompet ini ke kantor untuk dicari pemiliknya!”
“Baiklah, Pak kalau begitu!” jawab Togar.Mereka berjaln menuju tempat dompet itu ditemukan.
“Dik, sudah darimana?” tanyaPak Polisi.
“Sudah jualan gorengan, Pak dari SD 123!”
“Memangnya Adik tidak sekolah, ya?”
“Saya sekolah, Pak. Tapi sedang mencari uang untuk membayartunggakan SPP!”
“Memangnya orangtua kamu kemana, Dik?”
Togar menundukan kepalanya “Sejak saya berusia 7 tahun, kedua orang tua saya meninggal,Pak karena penakit asma. Jadi sekarang saya tinggal bersama orangtua angkat,Pak!”
“Oh begitu, ya.Lalu bagaimana jualannya?”
“Sayangnya, tidak adasatupun yang terjual, Pak. Semuanya terjatuh ke dalam parit kecil ketika hendak berjualan di SD 123” ucapnya dengan lirih.
Pak Polisi tidak sempat membalas kata-katanya.Tiba-tiba ada seorang perempuan separuh baya turun dari mobil APV berwarna hitam.Ia berjalan menghampiri Pak Polisi.
“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” Tanya Pak Polisi.
“Selamat siang, Pak! Saya Yuliani, Pak. Tadi saya beli minuman di warung itu, tetapi setelah saya tiba di rumah ternyata dompet saya hilang!”
“Ciri-ciri dompet Ibu seperti apa, Bu?”
“Dompet itu terbuat dari kulit, berwarna hitam dan di dalamnya itu terdapat KTP saya. Di dalam juga ada beberapa kartu kredit danada bon pembayaran belanja di Matahari, Pak. Apa Bapak menemukannya di sekitar sini? Karena terakhir kali saya turun mobil di daerah sini, Pak”
“Baiklah, apa dompet ini yang Ibu cari?” kata Pak Polisi seraya memperlihatkan dompet yang Togar temukan tadi.
“Alhamdulillah, ia, Pak! Benar itu dompet saya.Coba Bapak lihat apakah di dalamnya terdapat KTP saya?” ucap Bu Yuliani dengan sedikit tenang.
“Iya, Bu. Di dalamnya terdapat KTP atas nama Ibu Yuliani” ucapnya seraya menyerahkan dompet tersebut.
“Terimakasih banyak,Pak! Tanpa Bapak, saya tidak tahu bagaimana nasib saya sekarang”
“Ibu tidak perlu berterimakasih kepada Saya karena ini semua berkat anak ini, Bu. Dialah yang telah menemukan dompet ini dan menyerahkannya kepada saya!” ucap Pak Polisi seraya menggandeng Togar.
“Subhanalloh, Dik, terimakasih sekali atas kejujuran kamu, Nak! Kalau begitu, ini, terimalah sedikit tanda terimakasih dari Ibu, Dik.”Ucap Bu Yuliani seraya memberikan uang kepada Togar.
“Bu, terimakasih atas tawarannya, tetapi tidak perlu seperti ini, Bu. Ini kebetulan saja” ucapnya seraya menolak tawaran Bu Yuliani dengan halus.
“Tidak, Dik. Tolong terimalah, lagian tidak seberapa, kok.Hanya untuk uang jajan kamu saja!” ucap Bu Yuliani sambil meletakkan uangnya di tangan Togar.
Togar terlihat sedikit salahtingkah “aduh, Bu! Terimakasih atas rizkinya”
“Iya, Dik, sama-sama.Terimakasih juga ya karena kamu telah berlaku jujur.Pak, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.Berkat bantuan Bapak dan Adik yang jujur ini, alhmadulillah saya tidak kehilangan uang ini, Pak!”
“Sama-sama, Bu. Lain kali harus lebih hati-hati lagi!” ucap Pak Polisi.
“Terimakasih, Pak, Dik, Ibu pulang dulu. Dik, Ibu pulang ya, assalamualaikum!” ucap Ibu Yuliani seraya berjalan menuju mobilnya.

Sore hari pukul 16.30, lembayung senja telah menampakan dirinya di angkasa.Pada waktu itu, Togar hendak menyetorkan uang dagangannya ke rumah Bang Engking.
“Bagaimana, Gar?” Tanya Bang Engking.
“Hmm…Bang, sebelumnya Togar minta maaf. Togar tidak menjalankan amanat Abang dengan benar.Tadi Togar tidak sengaja menjatuhkan gorengannya ke parit kecil, Bang, jadi semuanya jatuh dan tak bersisa!” ucapnya seraya menundukkan kepala.
“Lalu…Bagaimana sekarang, Gar?Kamu jangan teledor, dong.Nanti untung untuk Abangnya mana?” ucap Bang Engking sedikit marah.
“Tenang, Bang. Tadi Togar menemukan dompet di jalan, lalu Togar serahkan kepada Pak Polisi.Tidak lama dari itu, pemiliknya datang menanyakan dompetnya yang hilang.Dan…akhirnya Togar diberi uang, Bang.Sebagian uang ini untuk mengganti kerugian Abang!” ucapnya sambil memberikan uang ganti rugi kepada Bang Engking.
“Bagus lah kalau begitu, Gar.Kamu memang orang yang hebat dan jujur.Sudah sore nih, sebaiknya kamu cepat pulang!” seru Bang Engking.
“Baik, Bang. Togar pulang dulu, terimakasih, Bang. Assalamu’alaikum!”.Ia pun hendak pulang ke rumahnya.

Setibanya di rumah, Togar termenung di kamarnya.Ia bingung dengan surat penagihan SPP yang ia terima tadi.
“Aduh, apa yang harus kulakukan?Apa sebaiknya aku memberikan surat ini kepada Ibu? Tapi, bagaimana kalau Ibu marah.” ucapnya. Lalu ia mengeluarkan uang pemberian Bu Yuliani tadi.
“Uang ini hanya ada dua ratus ribu. Kurangnya delapan puluh ribu lagi… Siapa yang akan menambahkan? Apalagi uang SPPku harus cepat-cepat dibayar.Hmm…Ahh…Sebaiknya aku memberikan surat ini kepada Ibu!”.Ia pun langsung melangkah untuk menghampiri Ibunya yang sedang di dapur. Ia melangkah dengan lemas dan takut.
“Ibu? Ini ada surat dari TU sekolah” ucapnya seraya memberikan sepucuk surat.
“Ah kamu ganggu saja Ibu sedang masak. Mana lihat!” ucapnya seraya mengambil surat tersebut.
Tiba-tiba Bu Rusmini marah “Aduh…Kamu ini ya, selalu bikin Ibu pusing.Uang ini, uang itu, kapan berhentinya.Uang lagi uang lagi!” bentaknya.
“Bu, Togar sudah punya uang dua ratus ribu.Kurangnya delapan puluh ribu lagi!” ucapnya dengan takut.
“Apa?Dua ratus ribu?Dapat darimana uang itu? Serahkan kepada Ibu! Jangan-jangan kamu mencuri, ya! Kecil –kecil sudah berani seperti ini, ya!”bentaknya seraya menatap Togar dengan tajam.
“Bu bu bukan Bu, Togar tidak pernah mencuri.Itu uang pemberian Bu Yuliani. Tadi Togar menemukan dompet di pinggir jalan, lalu menyerahkannya ke Polisi. Tak lama kemudian, pemiliknya datang dan memberi Togar uang.Sumpah, Bu, Togar tidak mencuri!” ucapnya dengan takut.
Bu Rusmini tiba-tiba memukul kepalanya dengan sendok yang sedang ia genggam.
“Geblek kamu, ngapain kamu serahkan ke Polisi. Kalau kamu bawa dompet itu, kita tidak akan kekurangan uang! Termasuk bisa membayar SPP kamu!” bentaknya seraya meninggalkan Togar di dapur. Ia hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya.Perlahan air matanya menetes. Lalu ia kembali ke kamarnya.
“Ya Alloh, kenapa Ibu selalu seperti itu. Andai saja Engkau tidak mengambil kedua orangtuaku, aku tidak akan seperti ini. Ibu, Bapa, Togar ingin bertemu…Togar ingin bersama Ibu lagi” ucapnya sambil menangis.
Tiba-tiba Bu Rusmini megetuk pintu dengan keras.“TOGAAARRR!…Buka pintunya!”
Togar kaget dan dengan cepat membuka pintu “Ada apa, Bu?” sambil menangis.
“Haduuuh…Geblek kamu, kerjaannya nangiiiiiiiiis aja. Cepet usap air matanya! Cengeng banget! Tuh ada yang nyari! Awas ya kamu jangan menjelek-jelekkan Ibu di depan tamu itu! ”
Togar segera membasuh mukanya lalu berjalan menuju ruang tamu. Ternyata yang datang itu adalah pegawai TU di sekolahnya.
“Pak Ahmad?” ucapnya seraya mencium tangan Pak Ahmad.
“Bu Rusmini, Togar, maaf kedatangan Bapak kemari sangat mendadak.”
“Iya tidak apa-apa, Pak!” jawab Bu Rusmini dengan ramah.
“Sebetulnya Saya kemari hanya sekedar ingin menyampaikan berita bahagia. Perlu Ibu tahu, bahwa anak ibu merupakan siswa yang berprestasi nan rajin di sekolahnya. Oleh karena itu, kami dari pihak sekolah, akan memberikannya beasiswa”
“Wah…Berapa juta, Pak?” tiba-tiba Bu Rusmini menyela pembicaraan Pak Ahmad.
“Beasiswanya tidak berupa uang tunai, Bu!Tetapi dengan bebas biaya SPP selama satu tahun. Kabarnya Togar telah diberi surat pemanggilan orangtua berkaitan dengan terlambatnya pembayaran SPP. Nah, dengan kedatangan saya kemari, saya ingin menegaskan bahwa selama 12 bulan ke depan ibu tidak perlu membayar SPP lagi, Bu!”
“Alhamdulillah,Pak, terimakasih!” ucap Togar dengan senang.
Wajah Bu Rusmini sedikit kesal “Oh begitu ya,Pak! Kalau begitu syukur sekali, jadi saya tidak perlu mengeluarkan uang untuk SPP Togar.Soalnya beginilah, Pak, saya orang miskin.Apalagi beban hidup saya ditambah dengan anak ini!” ucapnya dengan sedikit ketus.Togar menundukkan kepalanya.Tampaknya iatidak nyaman dengan pembicaraan Bu Rusmini.
“Sama-sama, Bu. Mungkin itu saja yang dapat saya sampaikan, Bu. Selamat ya, Gar! Bu, saya pamit dulu! Assalamu’alaikum…” ucap Pak Ahmad seraya meninggalkan rumah Togar.
“Wa’alaikum salam, Pak!” jawab Togar dan Bu Rusmini.
“Heh, cengeng!Baguslah kalau gini, jadi Ibu gak perlu repot-repot biayain kamu lagi!” ucap Bu Rusmini dengan ketus. Lalu ia meninggalkan Togar.
“Ya Alloh…Terimakasih, ini semua berkat Ridho-Mu…Alhamdulillah, akhirnya aku terbebas untuk membayar SPP” ucapnya dengan senang.
Tiba-tiba Bu Rusmini menghampirinya, ia terlihat sudah rapih untuk pergi.
“Ibu, mau pergi kemana?” tanyanya.
“Bawel banget kamu! Ibu mau belanja! Oh iya, kamu kanselalu merepotkan Ibu, jadi uang kamu Ibu ambil!” ucapnya dengan ketus seraya membanting pintu.
Togar tidak bisa berkata apapun.Ia hanya mampu menangis dan menjerit dalam hati karena perlakuan ibu tirinya. Ia termenung dan berdo’a agar suatu saat Alloh SWT dapat mengubah hati ibu tirinya itu.
“Ibu, Bapak, Togar dapat beasiswa. Andai saja ibu dan bapak masih ada menemani Togar. Pasti kalian senang!” ucapnya sambil menatap selembar photokedua orangtuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar